Annaad
bhavanti bhuutaani.
Prajnyaad annasambhavad.
Yadnyad bhavati parjanyo
Yadnyah karma samudbhavad.
(Bhagavad Gita.III.14)
Prajnyaad annasambhavad.
Yadnyad bhavati parjanyo
Yadnyah karma samudbhavad.
(Bhagavad Gita.III.14)
Makhluk
hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan
berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah karma.
Tanpa
tumbuh-tumbuhan, semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya,
karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya
tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup
ini. Dan…. masihkah kita tidak menghargai apa yang telah boleh kita terima dari
bumi pertiwi? Bagaimana cara kita menghargainya? Ini lah salah satu bentuk
kearifan budaya lokal yang sungguh Adi Luhung….. Tumpek Wariga.
Tumpek Wariga dikenal juga sebagai tumpek bubuh,
tumpek pengatag, tumpek pengarah. Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon,
Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Rangkaian upacara ngerasakin
dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang
Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.Tumpek
Wariga adalah hari untuk menghaturkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (masyarakat Bali Kuno menyebut
sebagai Kaki Bentuyung), Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan
melalui mengupacarai pepohonan dengan menghaturkan bubur/bubuh. Selain
itu,Tumpek wariga juga merupakan rangkaian awal dalam persiapan menyambut hari
raya Galungan.
Ketut
Wiana, 1 Maret 2005 menjelaskan dalam
Manusia
sebagai makhluk hidup yang paling serakah sering berbuat tidak adil kepada
keseimbangan hidup tumbuh-tumbuhan tersebut. Untuk menumbuhkan sikap yang adil
dan penuh kasih kepada tumbuh-tumbuhan, umat Hindu memohon tuntunan Dewa
Sangkara sebagai manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, umat Hindu di
India memiliki ”Hari Raya Sangkara Puja”, sedangkan umat Hindu di Bali memiliki
Tumpek Wariga sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara.
Kemasan
luar perayaan Sangkara Puja di India dan hari Tumpek Wariga di Bali tentunya
berbeda, tetapi maknanya tidak berbeda. Kedua hari tersebut sebagai suatu
proses ritual yang sakral untuk mengingatkan umat manusia agar selalu memohon
tuntunan Tuhan dalam mengembangkan dan melindungi tumbuh-tumbuhan sebagai
sumber makanan makhluk hidup yang paling utama.
Ni
Made Putri, S.Sos, 15 Sept 2009, menjelaskan dalam
Tumpek
bubuh / tumpek wariga juga disebut tumpek pengatag merupakan turunnya Hyang
Ciwa untuk memelihara keharmonisan kehidupan di dunia. Perayaan tumpek wariga
ini 25 hari menjelang Hari raya Galungan bertujuan agar pohon / tumbuh tumbuhan
yang ada disekeliling kita diharapkan dapat memenuhi kebutuhan umatnya. Seperti
tumbuh tumbuhan, daun daunan dan bunga bungaan .
Dalam
konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag dihaturkan persembahan kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa
tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang,
menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan
memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur
dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi
segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Perayaan
hari Tumpek Pengatag mengajarkan pada umat manusia bahwa kita wajib bersyukur
atas harmoni yang membantu kita tinggal dalam alam kehidupan kini. Menghormati
dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman yang ada, memberi isyarat
dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan
yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag,
momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan.
Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia.
Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan.
Mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Karena
itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan
sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa direaktualisasi sebagai
hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk memahami dan
bersyukur atas segala jasa Ibu Pertiwi kepada umat manusia.
Bersahabat dengan alam, tidak merusak lingkungan, belajar dari pengalaman para
leluhur / para tetua Bali di masa lalu, yang telah memiliki visi
futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan
kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga.
Kesadaran
yang tumbuh dalam pengertian makrokosmik, dalam konteks semesta raya, tidak
hanya semata Bali. Visi dan misi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga
kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan
lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum
manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu
mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai
bulan menanam pohon.
Perayaan
Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi
tersendiri. Ketut Wiana menjelaskan bahwa dalam berbagai bentuk, ritual
dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan
terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali
tiada henti tereksploitasi. Situasi terakhir, dengan adanya rencana untuk
menjual pasir di pesisir pantai Tabanan.
Situasi
serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan ide perencanaan dan
pelaksanaan dalam bentuk yang menyimpang, pemaknaan yang tidak total atau
tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya
hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata,
tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini
adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan
total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada
reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya,
menurut pandangan Ketut Gobyah, salah satu pemuka masyarakat, akan menjadi
menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten
pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta
menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan tindakan nyata, satu
orang menanam satu pohon. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi
kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna.
Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya
dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural
bermakna kental.
Mari
terus menerus menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan kita. Dalam skala
kecil, berawal dari lingkungan tempat tinggal kita dahulu. Menanam
tumbuh-tumbuhan untuk kelestarian lingkungan, dan dijadikan sarana memuja
Tuhan. Dalam skala yang lebih besar lagi, mengaktifkan dengan menanami berbagai
jenis tanaman pada banyak lahan tidur di Bali. Hasilnya akan bisa dimanfaatkan
masyarakat Bali sendiri tanpa harus tergantung dari pasokan luar Bali, khususnya
dalam memenuhi berbagai kebutuhan sarana upacara keagamaan.
Hal
inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan berkelanjutan,
mengajegkan flora dan fauna Bali, bahkan di seluruh dunia. Secara berkala dalam
merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala kita melakukan upacara
keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya kita
dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan
Bali.
Posted by:
Usaha Dodol & Iwel Bu RYAN –
Penglatan
Untuk Pemesanan / Order Bisa Lewat
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar